MANASIK QOLBU

Kamis, 16 Maret 2017

HOME




Mantapkan Hati untuk tetap Fokus ber Ibadah. Niatkan dengan Ikhlas, Sabar dan Tawakal hanya untuk Allah. Ikuti Pelatihan Manasik Qolbu bersama Ustd. ZAINURROFIEQ (Penulis buku “THE POWER OF KA’BAH). Dengan mengikuti Manasik Qolbu, Insya Allah ibadah Para Jamaah dapat lebih bermakna
Suatu hari, selepas sholat subuh, disamping ka’bah, seseoarang yang sedang umroh pernah bertutur pada saya sambil menangis. Ia bertanya pada saya dengan nada mengeluh, “mengapa saya tidak melihat dan merasakan sesuatu yang ajaib dalam perjalanan ke Ka’bah ini ? sebaliknya perasaan saya justru hampa. Saya hanya melihat tumpuka batu yang ditutupi kain hitam dan orang-orang tak henti-hentinya berdesakan berkeliling disekitarnya. Selain harus bedesak-2an, tekadang saya juga tidak nyaman dengan suhu udara yang terlalu panas. “

( Form Pendaftaran Peserta Manasik Qolbu Silahkan klik https://goo.gl/forms/rMmEnKThZkXmYkDk1 )

Sebelum menjawab pertanyaan ini , saya teringat sebuah ungkapan dari Paul T.Schele, “untuk berubah diperlukan pergeseran gelombang otak dari pikiran sadar menjadi tuntunan bawah sadar.” Tanpa disadari, banyak sekali orang berdatangan dari seluruh penjuru dunia ke kota Makkah dengan harapan akan mendapatkan gelimangan berkah dan hikmah dari Ka’bah. Namun, sesampainya disana, tidak banyak yang mereka dapatkan kecuali hanya lelah dan gelisah. Belum lagi perasaan yang timbul karena memikul beban ibadah yang berat, yang mau atau tidak mau harus kita lakukan. Maka, muncullah anggapan dan kesimpulan bahwa ibadah ke Tanah Suci adalah ibadah yang sangat “berat”. Kita tak mampu menikmati ibadah sebagai pendekatan diri kepada Allah. Padahal, mereka adalah hamba-2 yang telah dipilih oleh Allah untuk datang dan berada ke Tanah Suci, dengan tempat yang jauh berbeda dengan tempat-tempat lainnya yang ada dimuka bumi ini. Jawaban yang tepat untuk kondisi seperti di atas, bisa jadi karena minimnya kita memahami hakikat ibadah di Tanah Suci. Sehingga, hasil yang didapat pun hanya sedikit bahkan tidak jarang tidak mendapatkan apa-apa. Kita membutuhkan cara pandang yang tepat dalam melihat dan memposisikan Ka’bah. Dibutuhkan pandangan hati yang bersih dan tidak hanya mengandalkan pandangan kasat mata atau pikiran sadar.
Dilain waktu, yaitu jelang sepertiga malam, saya pernah membawa jamaah Haji satu grup, berkumpul di lantai dua masjidil Haram. Menjelang adzan subuh, masih tersedia waktu 45 menit, saya tawarkan pertanyaan: “Siapa yang ingin bertawaf sekarang?” Hampir semua jamaah menjawab dan melihat ke bawah dengan kesan berat dan tidak siap untuk turun dan melakukan tawaf pada sepertiga malam tersebut. Kemudian saya berdiri dan sampaikan, kita sekarang berada pada tempat yang sungguh sangat luar biasa yaitu pada sepertiga malam yang Allah sudah janjikan akan memberikan “Maqam Mahmudan” (tempat terpuji) bagi siapapun yang berhasil bangun dan beribadah pada waktu tersebut. Ditambah lagi saat ini kita semua berada di pusaran energy positif yang sangat dahsyat karena energy-energi positif yang dibawa  diri masing-masing dari seluruh penjuru dunia (minkulli fajjin ‘amiq) berkumpul di depan Ka’bah tersebut. Ditambah lagi dengan kayakinan bahwa tepat diatas Ka’bah itu adalah “Baitul Makmur” yaitu sebuah tempat bertawafnya para malaikat yang tiada henti-hentinya. Terbayang betapa indah dan positifnya jikalau kita berada di depan K’abah pada saat itu. Setelah saya sampaikan semua itu, kembali saya lontarkan ajakan tadi, dan ternyata kali ini semuanya antusias menjawab dengan penuh rasa rindu segera ikut berdesak-desakan dengan kerumunan banyak orang di depan Ka’bah
(Al-Mathaf).
Yang menjadi garis penting dari cerita tersebut adalah adanya perubahan mindset (sudut pandang) terhadap segala sesuatu yang ada dan terjadi di Tanah Suci yang sangat dibutuhka oleh setiap jamaah. Ketika mindset (sudut pandang)-nya sudah sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah, maka benar pula tata laksana perjalanan ibadahnya. Betapa pentingnya merubah mindset sebelum berangkat mendekatkan jiwa-jiwa kita sehari-hari.